Penulis: Nanda Yustizar Ramdani
TVRINews, Lampung Barat
Jernang atau buah rotan banyak tumbuh alami di kawasan hutan, seperti di wilayah Lampung Barat. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengenal potensi bisnis yang dapat dihasilkan dari jernang.
Jernang digunakan untuk bahan baku pewarna industri keramik, marmer, hingga sebagai bahan obat. Faktor ini yang menjadikan jernang sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi. Satu di antara petani jernang yang ada di Lampung Barat ialah Aan Yudiono. Ayah 2 orang anak itu telah menggeluti budidaya jernang sejak 2014.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 memaksa pria yang tinggal di Pekon Padang Cahya, Kecamatan Balik Bukit itu vakum berbisnis jernang selama 3 tahun. Aan mengatakan, permintaan jernang sebagai komoditas ekspor juga masih sangat tinggi.
Baca Juga: Polisi Bongkar Praktik Penimbunan Ribuan Liter BBM Bersubsidi
Itulah sebabnya, jernang menjadi komoditas menggiurkan untuk digeluti. Sebagai perbandingan, masyarakat Lampung Barat yang mayoritas bekerja sebagai petani kopi, hanya dapat menikmati hasil panennya sekali dalam setahun, sedangkan jernang bisa 2 kali panen dalam setahun.
Saat ini, harga per kilogram buah jernang berkisar Rp 17.000 hingga Rp 50.000. Masa tanam pohon rotan hingga panen hanya berkisar 4 tahunan. Dalam 1 batang tanaman rotan, dapat menghasilkan 4 sampai 5 kilogram jernang.
Jernang dapat dipanen dengan optimal hingga tanaman rotan berusia 20 tahun. Jika petani menanam 1.000 batang rotan dengan tiap batangnya menghasilkan 4 kilogram jernang, maka petani mendapatkan hasil panen 4 ton jernang.
Baca Juga: Harga Solar Mencekik Petani, Panen Raya di Tulang Bawang Ditunda
Dalam setahun, jernang dapat dipanen 2 kali sehingga petani meraih hasil 8 ton jernang. Jika jernang dihargai Rp 20.000 per kilogramnya, maka petani meraup pendapatan sebesar Rp 160 juta dalam setahun. Sementara untuk perawatan tanaman rotan, menurut Aan, lebih mudah ketimbang tanaman kopi atau tanaman lainnya.
Editor: Redaktur TVRINews